KEARIFAN LOKAL

“Menuju DAD Yang Modern Dan Mandiri Dengan Spirit Kearifan Lokal Dalam Bingkai NKRI" : Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata"(Adil Terhadap Sesama, Hidup Baik Pada Jalan Kebenaran, Taat Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)

Selasa, 26 Mei 2015

“Harajur Hapan Kutak Itah”

Pumpung Hai dan Napak Tilas Pakat Damai Tumbang Anoi 1894, 2 – 4 Oktober 2014

A.    Pendahuluan
           
Konstitusi Negara kita secara tegas dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menegaskan bahwa ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang-Undang”. Sangat jelas bagi kita bahwa keberadaan lembaga adat dan kesatuan masyarakat hukum adat diakui dan dihormati, sepanjang masih hidup. Artinya, hukum adat itu masih berlaku dan masih dianut oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Bagi masyarakat adat Dayak saat ini, Pengakuan dan Penghormatan itu senantiasa terus diperjuangkan dan dipertahankan bersama seluruh elemen masyarakat adat Dayak dan kelembagaan adat Dayak tanpa unsur paksaan untuk terus mendukung, menghormati, menghargai dan menjaga kearifan-kearifan adat yang menjadi bagian turun temurun dari kehidupan masyarakat adat Dayak.
Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah bersyukur terhadap perhatian Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang telah menunjukkan sikap kepedulian yang luar biasa untuk menjaga dan melestarikan kearifan lokal masyarakat Dayak dengan mengatur keberadaan Kelembagaan Adat Dayak sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah. Lahirnya kelembagaan Adat Dayak mulai dari MADN sampai kepada pembentukan DAD mulai dari Provinsi, Kabupaten sampai ke tingkat Desa/Kelurahan Bagi Suku Dayak, merupakan momentum untuk menjaga dan melestarikan semangat dan cita-cita para leluhur kita yang telah dihasilkan dalam Pertemuan Tumbang Anoi 1894 lalu.
Lebih lanjut dalam perda tersebut secara yuridis telah mengatur dan mengakui 2 (dua) kelembagaan Adat Dayak yaitu Kedamangan dan Dewan Adat Dayak beserta dengan struktur dan kewenangan dari masing-masing lembaga adat di Provinsi Kalimantan Tengah. Secara tegas dijelaskan bahwa keberadaan Dewan Adat Dayak Provinsi/Kabupaten/Kota adalah sebagai Lembaga Adat Dayak yang mengemban tugas dari Majelis Adat Dayak Nasional dan Dewan Adat Dayak Provinsi, sebagai lembaga koordinasi dan supervisi bagi Dewan Adat Dayak Kecamatan dan Kedamangan demi membantu kelancaran tugas Damang Kepala Adat dibidang pemberdayaan, pelestarian, pengembangan, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak di wilayah kabupaten/kota. Artinya bahwa Lembaga Kedamangan dapat dipandang sebagai lembaga sentral yang bertanggung jawab penuh atas tetap lestari, berdaya-guna dan berkembangnya  Hukum Adat Dayak, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan positif dalam kehidupan Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah.

B.    Bahasa Sebagai Bentuk Eksistensi Masyarakat Adat Dayak

Bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang perlu dilestarikan karena bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan daerah dan juga merupakan unsur kebudayaan nasional (Sofa, 2008). Bahasa daerah harus tetap dipertahankan, salah satu bahasa daerah itu adalah bahasa Dayak.
Provinsi Kalimantan Tengah mempunyai luas wilayah 153.564  Km2 dengan jumlah penduduk 2.425.226 Jiwa pada tahun 2013 atau kepadatan rata-rata 16 jiwa/Km2. Dari jumlah penduduk itu, sekitar 70% adalah penduduk pribumi. Jumlah penduduk pribumi diperkirakan 1.500.000. Dengan luas, jumlah penduduk pribumi, dan penyebaran penduduk seperti itu di Kalimantan Tengah dijumpai 36 (tiga puluh enam) bahasa pribumi. Jika jumlah penduduk pribumi saja dibandingkan dengan jumlah bahasa pribumi maka akan didapat rasio 1 : 41.667. Artinya setiap bahasa rata-rata memiliki penutur lebih kurang empat puluh satu ribu orang (Petrus Poerwadi, 2008).
Bahasa pribumi di Kalimantan Tengah lazim disebut sebagai bahasa Dayak. Dari 36 (tiga puluh enam) bahasa pribumi yang terdapat di Kalimantan Tengah, hanya sebuah bahasa yang berklasifikasi standard. Terdapat juga dua buah bahasa klasik. Selebihnya, terdapat sebelas bahasa berklasifikasi vernacular dan dua puluh dua bahasa berklasifikasi dialek (Poerwadi, 1995).
Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Berbagai etnis ada di provinsi ini, namun etnis atau suku aslinya adalah Suku Dayak. Untuk suku Dayak Kalimantan Tengah sendiri terdiri atas 4 suku besar yaitu Rumpun Dayak Ot Danum, Rumpun Dayak Ngaju (Biaju), Rumpun Dayak Dusun-Maanyan dan Rumpun Dayak Lawangan, yang terbagi lagi kedalam masing-masing sub suku Dayak Kalimantan Tengah lainnya yang memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Namun demikian, salah satu bahasa yang memegang peran penting bagi kehidupan komunikasi suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Bahasa Dayak Ngaju atau Basa Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju menguasai hampir 50% dari total sebanyak 69 daerah pengamatan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (Pusat Bahasa, 2006). Meskipun penyebarannya sporadis, bahasa ini menguasai beberapa daerah aliran sungai di Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan oleh penyebarannya beriringan dengan meluasnya Misi Pekabaran Injil di Kalimantan, termasuk Kalimantan Tengah pada tahun 1835 (Riwut, 1993 dan Riwut, 2004).
Namun demikian kondisi saat ini jika kita menilik sedikit sejarah Propinsi Kalimantan Tengah dibentuk dan dicita-citakan oleh para pendahulu kita  sebagai sebuah “Dayak Homeland”, sebab sejarah mencatat bagaimana Suku Dayak baik pada zaman kerajaan, penjajahan Belanda bahkan era kemerdekaan dianggap sebagai suku inferior, terbelakang dan hanya tinggal dihutan, ada beberapa istilah yang mengungkapkan ini seperti; istilah Hakka untuk menyebut orang Dayak sebagai “La Chi” yang pada masa lalu bermakna “setengah manusia”, dalam bahasa Melayu, Dayak artinya “terbelakang” atau dalam bahasa Jawa “ndayak” yang artinya “urakan”. Sebagian orang bahkan menganggap Orang Dayak tidak memberikan sumbangsih dalam perjuangan kemerdekaan hanya tahu tinggal dihutan, membuat tuak dan menombak babi, padahal banyak tokoh Dayak yang terlibat aktif baik melalui perjuangan keorganisasian bahkan mengangkat senjata dan mengorbankan nyawanya demi mengusir penjajah dari bumi Kalimantan ini.
Sudah seharusnya Kalimantan Tengah mempertahankan ciri khasnya sebagai “Dayak Homeland” dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika kita melihat propinsi Bali, kita akan melihat bagaimana kehidupan orang Bali dan budaya Bali baik itu dari segi arsitektur, kehidupan sehari-hari bahkan dalam bahasa pergaulannya, demikian juga jika kita pergi ke Pulau Jawa, maka setiap orang yang merantau ke Pulau Jawa akan mengalami bagaimana Budaya Jawa itu, bahkan hampir semua  yang merantau ke Pulau Jawa akan setidaknya mengerti Bahasa Jawa.
Ini berbanding terbalik dengan Kalimantan Tengah yang awalnya dicita-citakan sebagai “Dayak Homeland” –  propinsi yang seharusnya mengakar Budaya dan Bahasa Dayaknya, Propinsi dimana setiap orang luar yang berkunjung kesana akan melihat bagaimana kehidupan orang Dayak, bagaimana budayanya dan bagaimana keseniannya. Namun dari sisi bahasanya malahan jarang didengar dan dijumpai.
Eksistensi sebuah suku salah satu yang fundamental dalam identitas  adalah bahasa, seperti yang disinggung diatas, jika kita pergi ke Jakarta maka bahasa gaulnya adalah bahasa Betawi “Loe – Gue”, jika kita pergi ke Yogyakarta maka bahasa gaulnya adalah Bahasa Jawa atau jika kita pergi ke Padang bahasa gaulnya ialah bahasa Minang, tetapi di Palangkaraya yang adalah Ibu Kota Propinis Kalimantan Tengah banyak anak mudanya tidak bisa berbahasa Dayak lagi walupun berasal dari Bapak – Ibu Dayak. Karena seolah-olah Bahasa Banjar-lah yang menjadi bahasa gaul dan lingua fracanya. Dengan kata lain bahasa Dayak (secara khusus Bahasa Dayak Ngaju yang hampir dipahami oleh seluruh suku Dayak di Kalteng) belum mampu menjadi bahasa sehari-hari di Kalimantan Tengah baik dalam bidang sosial, ekonomi dan lainnya.
Meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka masih menggunakan bahasa Dayak Kalimantan Tengah, dalam lingkungan yang menghendaki penggunaan bahasa Dayak Kalimantan Tengah namun mereka tidak semuanya dapat melakukan dengan baik. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa mereka menjadi seperti itu. Di lingkungan keluarga sendiri mereka tidak biasa menggunakan bahasa Dayak Kalimantan Tengah dengan benar, di sekolah mereka hanya mendapat pelajaran bahasa Dayak Kalimantan Tengah yang terbatas, dalam masyarakat luas mereka melihat kenyataan bahwa bahasa Dayak Kalimantan Tengah tidak lagi digunakan dalam aspek kehidupan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah.
Kondisi bahasa-bahasa Dayak Kalimantan Tengah sebagai bagian dari kekayaan bahasa di Indonesia sebagai bagian dari budaya daerah nusantara sekarang ini semakin terdesak oleh perkembangan zaman dan teknologi informasi. Tidak kalah penting yang perlu perhatian khusus, terutama pada tataran golongan muda.
Melihat kendala dan permasalahan yang dihadapi masyarakat adat Dayak dalam melestarikan Bahasa Dayak, Kelembagaan Adat Dayak sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 angka 18 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah, adalah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah Masyarakat Adat Dayak dengan wilayah hukum adatnya, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan dengan mengacu kepada adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat Dayak. Salah satu upaya dan strategi untuk mempertahankan dan melestarikan adat isitiadat, kebiasaan dan hukum adat Dayak, keberadaan Bahasa Dayak Kalimantan Tengah menjadi salah satu perhatian utama dari DAD didukung oleh pemerintah daerah. Dimana untuk menghadapi persoalan berat ini, telah dan terus berupaya menjalin kerja sama dengan para Damang dan Mantir, Lembaga-Lembaga Adat yang ada, Pantang Menyerah dan Tak Akan Surut Apalagi Putus Asa  sebab DAD memiliki keyakinan bahwa Masyarakat Dayak tidak akan pernah menjadi orang lain, selain menjadi dirinya sendiri.
Untuk menjawab tantangan tersebut DAD dalam kurun waktu 3 tahun terakhir telah menginisiasi dan mendorong pemerintah daerah untuk memperhatikan kearifan-kearifan lokal masyarakat Dayak Kalimantan Tengah.   Dalam proses pembahasan lebih lanjut kemudian disepakati terdapat 11 kearifan local masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah yang perlu menjadi perhatian, yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal. Dimana dalam pergub tersebut  bahasa daerah (BAHASA DAYAK) merupakan prioritas utama yang perlu menjadi perhatian, selanjutnya adalah SASTRA DAERAH, KESENIAN DAERAH, ADAT ISTIADAT DAN HUKUM ADAT, SEJARAH LOKAL, PERIBOGA/MAKANAN-MASAKAN, PENGOBATAN/OBAT-OBATAN, DESAIN/UKIRAN/ANYAMAN/PAHATAN (TEKNOLOGI), OLAH RAGA LOKAL, LINGKUNGAN HIDUP dan HAK-HAK ADAT.
Upaya ini tiada lain merupakan upaya DAD bersama kelembagaan adat Dayak untuk terus melestarikan Bahasa dayak (Dayak Ngaju) yang akhir-akhir ini jarang digunakan dipasar, diterminal, di sekolah, dan di kantor. Demikian halnya saat ini pun DAD akan terus berupaya bekerjasama dengan Dinas pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota untuk terus menyempurnakan kurikulum Bahasa Dayak yang akan dimasukkan dan diajarkan dalam kurikulum muatan lokal. Sehingga kedepan tidak ada lagi kata malu disekolah maupun dimasyarakat bahkan orang dayak sendiri harus memakai bahasa dayak dalam kehidupan sehari-hari dan hal ini pun telah dibukukan. Karena muatan lokal berbahasa dayak sudah dimulai dan dipelajari dari TK, SD, SLTP,SLTA bahkan mahasiswa dan materi ajar dalam diklatpim/prajabatan di Kalimantan Tengah bagi para PNS.
Terlebih dengan munculnya kebijakan Gubernur Dayak Kalimantan Tengah melalui Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2009 tentang Muatan Lokal untuk memasukkan bahasa Dayak Kalimantan Tengah (Dayak Ngaju) dalam mutan lokal pada pendidikan SD, SMP, dan SMA bahkan sampai pendidikan tinggi dan diklat kepemimpinan bagi PNS menjadi angin segar bagi bahasa Dayak Kalimantan Tengah khususnya untuk terus berkembang dan menjadi bahasa bahasa gaul dan lingua fracanya. Sekarang tergantung kita, mau diapakan,dan bagaimana cara mengajarkan, menanamkan, dan mengembangkan filosofi bahasa daerah kepada anak didik kita sebagai generasi penerus, sehingga eksistensi bahasa daerah dalam kerangka budaya di era teknologi informasi tetap maju dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Disamping dukungan pemerintah daerah, DAD juga terus berupaya memperluas upaya dengan mengandeng para generasi muda untuk bersama-sama ikut aktif mensosialisasikan dan menghimbau kalangan muda untuk tidak perlu malu menggunakan bahasa Dayak dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya dengan melaksanakan sebuah gerakan Gerakan “Harajur Hapan Kutak Itah” yang artinya “Membudayakan penggunaan Bahasa Dayak Dalam Kehidupan sehari-hari”. Gerakan ini telah dilauching oleh Presiden MADN yang adalah juga Gubernur Kalimantan Tengah dalam kegiatan Napak Tilas Pakat Damai Tumbang Anoi 1894 di Desa Tumbang Anoi tanggal 3 Oktober 2014, gerakan ini merupakan suatu kegerakan untuk membangkitkan rasa kebanggaan akan bahasa Dayak, sehingga Bahasa Dayak akan menjadi salah satu ciri khas di Provinsi Kalimantan Tengah. Kegerakan ini diharapkan diawali terlebih dahulu melalui lingkup keluarga-keluarga Dayak seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Tengah. Tanamkan rasa kecintaan dan kebanggaan menggunakan bahasa Dayak bagi keluarga dan masyarakat disekeliling kita.
Hal ini sesuai dengan tujuan dari gerakan ini untuk membangkitkan rasa bangga dengan budaya Dayak dan tidak lagi malu menggunakan bahasa Dayak secara khusus Bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pemersatu di Kalimantan Tengah dalam pergaulan, sehingga setiap keluarga Dayak diharapkan menggunakan Bahasa Dayak dalam lingkup keluarganya masing-masing dan bahasa Dayak Ngaju menjadi identitas dari masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah.
Upaya yang dilakukan oleh DAD bersama dengan segenap komponen masyarakat adat Dayak sejalan pula dengan penjelasan Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik, bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.
Sesuai dengan landasan tersebut, bahasa Dayak (Ngaju) di Kalimantan Tengah sebagai bagian dari bahasa daerah di Indonesia memiliki hak sepenuhnya untuk dihormati dan dipelihara oleh negara. Oleh karena itu, perlu dipikirkan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Dayak Kalimantan Tengah di era teknologi dan informasi yang semakin memprihatinkan perkembangannya.
Pertanyaannya kemudian adalah; siapa yang bertanggung untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Dayak Kalimantan Tengah serta melestarikan eksistensi bahasa dan budaya daerah kita? Guru bahasa daerah, pemerintah daerah, atau orangtua? masyarakat tentu saja tidak boleh saling tunjuk satu dengan yang lain tetapi bagaimana upaya kita secara bergotong-royong untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya daerah untuk generasi penerus dan mempersiapkan SDM yang profesional dalam bidang bahasa dan budaya daerah. Eksistensi bahasa daerah, Kedudukan bahasa Dayak Kalimantan Tengah bagi sebagian masyarakat Dayak Kalimantan Tengah merupakan bahasa ibu. Pernyataan itu dapat ditafsirkan bahwa bahasa Dayak Kalimantan Tengah masih merupakan alat komunikasi yang efektif di lingkungan keluarga bahkan di masyarakat luas.