Pumpung
Hai dan Napak Tilas Pakat Damai Tumbang Anoi 1894, 2 – 4 Oktober 2014
A.
Pendahuluan
Bagi
masyarakat adat Dayak saat ini, Pengakuan dan Penghormatan itu senantiasa terus
diperjuangkan dan dipertahankan bersama seluruh elemen masyarakat adat Dayak
dan kelembagaan adat Dayak tanpa unsur paksaan untuk terus mendukung,
menghormati, menghargai dan menjaga kearifan-kearifan adat yang menjadi bagian
turun temurun dari kehidupan masyarakat adat Dayak.
Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah bersyukur
terhadap perhatian Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang telah menunjukkan
sikap kepedulian yang luar biasa untuk menjaga dan melestarikan kearifan lokal
masyarakat Dayak dengan mengatur keberadaan Kelembagaan Adat
Dayak sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang
Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah. Lahirnya kelembagaan Adat Dayak mulai dari MADN sampai
kepada pembentukan DAD mulai dari Provinsi, Kabupaten sampai ke tingkat
Desa/Kelurahan Bagi Suku Dayak, merupakan momentum untuk
menjaga dan melestarikan semangat dan cita-cita para leluhur kita yang telah
dihasilkan dalam Pertemuan Tumbang Anoi 1894 lalu.
Lebih lanjut
dalam perda tersebut secara yuridis telah mengatur dan mengakui 2 (dua)
kelembagaan Adat Dayak yaitu Kedamangan dan Dewan Adat Dayak beserta dengan
struktur dan kewenangan dari masing-masing lembaga adat di Provinsi Kalimantan
Tengah. Secara tegas dijelaskan bahwa keberadaan
Dewan Adat Dayak Provinsi/Kabupaten/Kota adalah sebagai Lembaga Adat Dayak yang
mengemban tugas dari Majelis Adat Dayak Nasional dan Dewan Adat Dayak Provinsi,
sebagai lembaga koordinasi dan supervisi bagi Dewan Adat Dayak Kecamatan dan
Kedamangan demi membantu kelancaran tugas Damang Kepala Adat dibidang
pemberdayaan, pelestarian, pengembangan, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan
hukum adat Dayak di wilayah kabupaten/kota. Artinya bahwa Lembaga Kedamangan
dapat dipandang sebagai lembaga sentral yang bertanggung jawab penuh atas tetap
lestari, berdaya-guna dan berkembangnya
Hukum Adat Dayak, adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan positif dalam
kehidupan Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
B.
Bahasa
Sebagai Bentuk Eksistensi Masyarakat Adat Dayak
Bahasa daerah merupakan bahasa ibu yang perlu
dilestarikan karena bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan daerah dan
juga merupakan unsur kebudayaan nasional (Sofa, 2008). Bahasa daerah harus
tetap dipertahankan, salah satu bahasa daerah itu adalah bahasa Dayak.
Provinsi Kalimantan Tengah mempunyai luas
wilayah 153.564
Km2 dengan jumlah penduduk 2.425.226 Jiwa pada tahun 2013 atau kepadatan
rata-rata 16 jiwa/Km2. Dari jumlah penduduk itu, sekitar 70% adalah penduduk
pribumi. Jumlah penduduk pribumi diperkirakan 1.500.000. Dengan luas, jumlah
penduduk pribumi, dan penyebaran penduduk seperti itu di Kalimantan Tengah
dijumpai 36 (tiga puluh enam) bahasa pribumi. Jika jumlah penduduk pribumi saja
dibandingkan dengan jumlah bahasa pribumi maka akan didapat rasio 1 : 41.667.
Artinya setiap bahasa rata-rata memiliki penutur lebih kurang empat puluh satu
ribu orang (Petrus Poerwadi, 2008).
Bahasa pribumi di Kalimantan Tengah lazim
disebut sebagai bahasa Dayak. Dari 36 (tiga puluh enam) bahasa pribumi yang
terdapat di Kalimantan Tengah, hanya sebuah bahasa yang berklasifikasi
standard. Terdapat juga dua buah bahasa klasik. Selebihnya, terdapat sebelas
bahasa berklasifikasi vernacular dan dua puluh dua bahasa berklasifikasi dialek
(Poerwadi, 1995).
Kalimantan
Tengah sebagai salah satu provinsi di Indonesia. Berbagai etnis ada di provinsi
ini, namun etnis atau suku aslinya adalah Suku Dayak. Untuk suku Dayak
Kalimantan Tengah sendiri terdiri atas 4 suku besar yaitu Rumpun
Dayak Ot Danum, Rumpun Dayak Ngaju (Biaju), Rumpun Dayak Dusun-Maanyan dan
Rumpun Dayak Lawangan, yang
terbagi lagi kedalam masing-masing sub suku Dayak Kalimantan Tengah lainnya
yang memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Namun
demikian, salah satu bahasa yang memegang peran penting
bagi kehidupan komunikasi suku Dayak di Kalimantan Tengah adalah Bahasa Dayak
Ngaju atau Basa Ngaju. Bahasa Dayak Ngaju menguasai hampir 50% dari total
sebanyak 69 daerah pengamatan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah (Pusat
Bahasa, 2006). Meskipun penyebarannya sporadis, bahasa ini menguasai beberapa
daerah aliran sungai di Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan oleh
penyebarannya beriringan dengan meluasnya Misi Pekabaran Injil di Kalimantan,
termasuk Kalimantan Tengah pada tahun 1835 (Riwut, 1993 dan Riwut, 2004).
Namun demikian kondisi saat ini jika kita
menilik sedikit sejarah Propinsi Kalimantan Tengah dibentuk dan dicita-citakan
oleh para pendahulu kita sebagai sebuah “Dayak Homeland”, sebab
sejarah mencatat bagaimana Suku Dayak baik pada zaman kerajaan, penjajahan
Belanda bahkan era kemerdekaan dianggap sebagai suku inferior, terbelakang dan
hanya tinggal dihutan, ada beberapa istilah yang mengungkapkan ini seperti;
istilah Hakka untuk menyebut orang Dayak sebagai “La Chi” yang pada masa lalu
bermakna “setengah manusia”, dalam bahasa Melayu, Dayak artinya “terbelakang”
atau dalam bahasa Jawa “ndayak” yang artinya “urakan”. Sebagian
orang bahkan menganggap Orang Dayak tidak memberikan sumbangsih dalam
perjuangan kemerdekaan hanya tahu tinggal dihutan, membuat tuak dan menombak
babi, padahal banyak tokoh Dayak yang terlibat aktif baik melalui perjuangan
keorganisasian bahkan mengangkat senjata dan mengorbankan nyawanya demi
mengusir penjajah dari bumi Kalimantan ini.
Sudah seharusnya Kalimantan Tengah
mempertahankan ciri khasnya sebagai “Dayak Homeland” dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika kita melihat propinsi Bali, kita akan
melihat bagaimana kehidupan orang Bali dan budaya Bali baik itu dari segi
arsitektur, kehidupan sehari-hari bahkan dalam bahasa pergaulannya, demikian
juga jika kita pergi ke Pulau Jawa, maka setiap orang yang merantau ke Pulau
Jawa akan mengalami bagaimana Budaya Jawa itu, bahkan hampir semua yang
merantau ke Pulau Jawa akan setidaknya mengerti Bahasa Jawa.
Ini berbanding terbalik dengan Kalimantan
Tengah yang awalnya dicita-citakan sebagai “Dayak Homeland” – propinsi
yang seharusnya mengakar Budaya dan Bahasa Dayaknya, Propinsi dimana setiap
orang luar yang berkunjung kesana akan melihat bagaimana kehidupan orang Dayak,
bagaimana budayanya dan bagaimana keseniannya. Namun dari sisi bahasanya
malahan jarang didengar dan dijumpai.
Eksistensi sebuah
suku salah satu yang fundamental dalam identitas adalah bahasa, seperti yang disinggung diatas,
jika kita pergi ke Jakarta maka bahasa gaulnya adalah bahasa Betawi “Loe –
Gue”, jika kita pergi ke Yogyakarta maka bahasa gaulnya adalah Bahasa Jawa
atau jika kita pergi ke Padang bahasa gaulnya ialah bahasa Minang, tetapi di
Palangkaraya yang adalah Ibu Kota Propinis Kalimantan Tengah banyak anak
mudanya tidak bisa berbahasa Dayak lagi walupun berasal dari Bapak – Ibu Dayak.
Karena seolah-olah Bahasa Banjar-lah yang menjadi bahasa gaul dan lingua fracanya. Dengan
kata lain bahasa Dayak (secara khusus Bahasa Dayak Ngaju yang hampir dipahami
oleh seluruh suku Dayak di Kalteng) belum mampu menjadi bahasa sehari-hari di
Kalimantan Tengah baik dalam bidang sosial, ekonomi dan lainnya.
Meskipun
dalam kehidupan sehari-hari mereka masih menggunakan bahasa Dayak Kalimantan
Tengah, dalam lingkungan yang menghendaki penggunaan bahasa Dayak Kalimantan
Tengah namun mereka tidak semuanya dapat melakukan dengan baik. Banyak faktor
yang menyebabkan mengapa mereka menjadi seperti itu. Di lingkungan keluarga
sendiri mereka tidak biasa menggunakan bahasa Dayak Kalimantan Tengah dengan
benar, di sekolah mereka hanya mendapat pelajaran bahasa Dayak Kalimantan Tengah
yang terbatas, dalam masyarakat luas mereka melihat kenyataan bahwa bahasa
Dayak Kalimantan Tengah tidak lagi digunakan dalam aspek kehidupan masyarakat
Dayak Kalimantan Tengah.
Kondisi
bahasa-bahasa Dayak Kalimantan Tengah sebagai bagian dari kekayaan bahasa di
Indonesia sebagai bagian dari budaya daerah nusantara sekarang ini semakin
terdesak oleh perkembangan zaman dan teknologi informasi. Tidak kalah penting
yang perlu perhatian khusus, terutama pada tataran golongan muda.
Melihat
kendala dan permasalahan yang dihadapi masyarakat adat Dayak dalam melestarikan
Bahasa Dayak, Kelembagaan Adat Dayak sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 angka
18 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang
Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah, adalah organisasi kemasyarakatan,
baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan sejarah Masyarakat Adat Dayak dengan wilayah hukum adatnya,
serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan dengan mengacu kepada adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan
dan hukum adat Dayak. Salah satu upaya dan strategi untuk mempertahankan dan
melestarikan adat isitiadat, kebiasaan dan hukum adat Dayak, keberadaan Bahasa
Dayak Kalimantan Tengah menjadi salah satu perhatian utama dari DAD didukung
oleh pemerintah daerah. Dimana untuk menghadapi persoalan berat ini, telah dan terus berupaya menjalin
kerja sama dengan para Damang dan Mantir, Lembaga-Lembaga Adat yang ada, Pantang
Menyerah dan Tak Akan Surut Apalagi Putus Asa sebab DAD memiliki keyakinan bahwa Masyarakat
Dayak tidak akan pernah menjadi orang lain, selain menjadi dirinya sendiri.
Untuk menjawab
tantangan tersebut DAD dalam kurun waktu 3 tahun terakhir telah menginisiasi
dan mendorong pemerintah daerah untuk memperhatikan kearifan-kearifan lokal
masyarakat Dayak Kalimantan Tengah.
Dalam proses pembahasan lebih lanjut kemudian disepakati terdapat 11
kearifan local masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah yang perlu menjadi
perhatian, yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal. Dimana dalam pergub tersebut bahasa daerah (BAHASA DAYAK) merupakan
prioritas utama yang perlu menjadi perhatian, selanjutnya adalah SASTRA DAERAH,
KESENIAN DAERAH, ADAT ISTIADAT DAN HUKUM ADAT, SEJARAH LOKAL,
PERIBOGA/MAKANAN-MASAKAN, PENGOBATAN/OBAT-OBATAN, DESAIN/UKIRAN/ANYAMAN/PAHATAN
(TEKNOLOGI), OLAH RAGA LOKAL, LINGKUNGAN HIDUP dan HAK-HAK ADAT.
Upaya ini tiada
lain merupakan upaya DAD bersama kelembagaan adat Dayak untuk terus
melestarikan Bahasa dayak (Dayak Ngaju) yang akhir-akhir ini jarang digunakan dipasar,
diterminal, di sekolah, dan di kantor. Demikian halnya saat ini pun DAD akan terus berupaya bekerjasama dengan Dinas pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota untuk terus
menyempurnakan kurikulum Bahasa Dayak yang akan dimasukkan dan diajarkan dalam
kurikulum muatan lokal. Sehingga kedepan tidak ada lagi kata malu disekolah
maupun dimasyarakat bahkan orang dayak sendiri harus memakai bahasa dayak dalam
kehidupan sehari-hari dan hal ini pun telah dibukukan. Karena muatan lokal
berbahasa dayak sudah dimulai dan dipelajari dari TK, SD, SLTP,SLTA bahkan
mahasiswa dan materi ajar dalam diklatpim/prajabatan di Kalimantan Tengah bagi
para PNS.
Terlebih dengan
munculnya kebijakan Gubernur Dayak Kalimantan Tengah melalui Peraturan Gubernur
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Muatan Lokal untuk memasukkan bahasa Dayak
Kalimantan Tengah (Dayak Ngaju) dalam mutan lokal pada pendidikan SD, SMP, dan SMA bahkan
sampai pendidikan tinggi dan diklat kepemimpinan bagi PNS menjadi angin segar
bagi bahasa Dayak Kalimantan Tengah khususnya untuk terus berkembang dan
menjadi bahasa bahasa gaul dan lingua fracanya. Sekarang
tergantung kita, mau diapakan,dan bagaimana cara mengajarkan, menanamkan, dan
mengembangkan filosofi bahasa daerah kepada anak didik kita sebagai generasi
penerus, sehingga eksistensi bahasa daerah dalam kerangka budaya di era
teknologi informasi tetap maju dan berkembang seiring dengan perkembangan
zaman.
Disamping dukungan
pemerintah daerah, DAD juga terus berupaya memperluas upaya dengan mengandeng
para generasi muda untuk bersama-sama ikut aktif mensosialisasikan dan
menghimbau kalangan muda untuk tidak perlu malu menggunakan bahasa Dayak dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satunya dengan melaksanakan sebuah gerakan Gerakan “Harajur Hapan Kutak Itah” yang artinya
“Membudayakan penggunaan Bahasa Dayak Dalam Kehidupan sehari-hari”. Gerakan ini telah dilauching oleh Presiden
MADN yang adalah juga Gubernur Kalimantan Tengah dalam kegiatan Napak Tilas
Pakat Damai Tumbang Anoi 1894 di Desa Tumbang Anoi tanggal 3 Oktober 2014,
gerakan ini merupakan suatu kegerakan untuk membangkitkan rasa kebanggaan akan
bahasa Dayak, sehingga Bahasa Dayak akan menjadi salah satu ciri khas di
Provinsi Kalimantan Tengah. Kegerakan ini diharapkan diawali terlebih dahulu
melalui lingkup keluarga-keluarga Dayak seluruh kabupaten/kota di Kalimantan
Tengah. Tanamkan rasa kecintaan dan kebanggaan menggunakan bahasa Dayak bagi
keluarga dan masyarakat disekeliling kita.
Hal ini sesuai dengan tujuan dari gerakan
ini untuk membangkitkan rasa bangga dengan budaya Dayak dan tidak lagi malu
menggunakan bahasa Dayak secara khusus Bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa
pemersatu di Kalimantan Tengah dalam pergaulan, sehingga setiap keluarga Dayak
diharapkan menggunakan Bahasa Dayak dalam lingkup keluarganya masing-masing dan
bahasa Dayak Ngaju menjadi identitas dari masyarakat Dayak di Kalimantan
Tengah.
Upaya
yang dilakukan oleh DAD bersama dengan segenap komponen masyarakat adat Dayak
sejalan pula dengan penjelasan Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahwa “Di
daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya
dengan baik-baik, bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh
negara.
Sesuai
dengan landasan tersebut, bahasa Dayak (Ngaju) di Kalimantan Tengah sebagai
bagian dari bahasa daerah di Indonesia memiliki hak sepenuhnya untuk dihormati
dan dipelihara oleh negara. Oleh karena itu, perlu dipikirkan upaya pembinaan
dan pengembangan bahasa dan sastra Dayak Kalimantan Tengah di era teknologi dan
informasi yang semakin memprihatinkan perkembangannya.
Pertanyaannya kemudian adalah; siapa yang bertanggung
untuk memelihara dan mengembangkan bahasa Dayak Kalimantan Tengah serta
melestarikan eksistensi bahasa dan budaya daerah kita? Guru bahasa daerah,
pemerintah daerah, atau orangtua? masyarakat tentu saja tidak boleh saling
tunjuk satu dengan yang lain tetapi bagaimana upaya kita secara
bergotong-royong untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya daerah
untuk generasi penerus dan mempersiapkan SDM yang profesional dalam bidang
bahasa dan budaya daerah. Eksistensi bahasa daerah, Kedudukan bahasa Dayak
Kalimantan Tengah bagi sebagian masyarakat Dayak Kalimantan Tengah merupakan
bahasa ibu. Pernyataan itu dapat ditafsirkan bahwa bahasa Dayak Kalimantan
Tengah masih merupakan alat komunikasi yang efektif di lingkungan keluarga
bahkan di masyarakat luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar