CERAMAH KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI,
Dr. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
PADA RAPAT KERJA NASIONAL
MAJELIS ADAT DAYAK NASIONAL TAHUN 2013
Palangkaraya,
30 Agustus 2013
Assalamu ‘alaikum
Warahmatullahi Wa barakatuh.
Selamat pagi dan
salam sejahtera untuk kita semua.
· Yang
terhormat, Presiden Majelis Adat Dayak
Nasional, yang juga Gubernur Kalimantan Tengah, Saudara Agustin Teras Narang;
· Yang
saya hormati, Para Pemuka Adat dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak;
·
Peserta
Rapat Kerja Nasional Majelis Adat Dayak Nasional; dan
·
Seluruh
hadirin yang berbahagia.
Saya
mengucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi atas terselenggaranya Rapat
Kerja Nasional Majelis Adat Dayak Nasional Tahun 2013. Meskipun Rapat Kerja seperti
ini merupakan kegiatan rutin tahunan, setidaknya dari forum Rapat Kerja ini, kita
berharap akan muncul gagasan dan rekomendasi konstruktif yang bermanfaat bagi masyarakat
luas, terutama bagi masyarakat hukum adat.
Untuk itu, dalam forum Rapat Kerja Nasional ini, saya diminta menyampaikan hal-hal yang terkait dengan
pertimbangan dan konsekuensi hukum Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 dalam perkara
pengujian Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Hadirin yang berbahagia,
Jika
dilakukan identifikasi, persoalan di sektor kehutanan selama ini sesungguhnya terletak
pada pengaturan sektor kehutanan yang kurang
memberikan keadilan dan kepastian hukum, terutama kepada masyarakat
adat. Padahal, seperti yang kita ketahui, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki
sejarah panjang dan landasan konstitusional yang kuat terkait atas penguasaan
tanah dan sumber daya hutan di wilayah adatnya sendiri. Karena itu, wajar jika kalangan masyarakat
adat tidak berhenti memperjuangkan hak-hak konstitusionanya. Salah satu
perjuangan yang dilakukan ialah menguji konstitusionalitas Undang-Undang Kehutanan
ke Mahkamah Konstitusi.
Setidaknya sampai hari ini, MK telah memutus 3
(tiga) perkara pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999[1]
tentang Kehutanan, yaitu: (1) Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, yang diajukan oleh 5 (lima)
bupati di Kalimantan Tengah dan seorang pengusaha,[2] (2) Putusan
Nomor 34/PUU-IX/2013, yang diajukan seorang pengusaha perkebunan dari Jambi,
dan (3) Putusan Nomor 35/PUU-IX/2012 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) dan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Kenegrian Kuntu, Kabupaten Kampar Provinsi Riau, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan
Cisitu, Lebak, Banten.
Ketiga
putusan tersebut sama-sama memiliki makna penting dalam politik hukum kehutanan
negara ini. Namun demikian, Putusan
Nomor 35/PUU-IX/2012 dinilai paling menonjol dimensi perlindungan terhadap
masyarakat adat.
Hadirin yang saya muliakan,
Dalam
perkara Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, Pemohon mendalilkan bahwa di dalam Undang-Undang
Kehutanan terdapat norma yang melanggar prinsip persamaan di depan hukum
sebagai salah satu ciri negara hukum atau rule of law karena
bertentangan dengan asas legalitas, prediktabilitas, dan transparansi yang
diakui dan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi salah satu
prinsip pokok bagi tegaknya negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (3) UUD 1945.
Jika
dilihat permohonannya, Pemohon membagi norma yang diuji ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: (1) Pengujian terhadap ketentuan-ketentuan
yang mengatur status dan penetapan
hutan adat; dan (2) Pengujian terhadap ketentuan-ketentuan yang mengatur bentuk dan tata cara pengakuan
kesatuan masyarakat hukum adat.
Atas permohonan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan Pemohon. Terdapat
setidaknya 6 (enam) hal yang nanti akan saya uraikan lebih lanjut mengapa MK
mengabulkan permohonan Pemohon.
Namun sebelum itu,
saya ingin menyampaikan terlebih dulu kerangka besar yang mendasari konstruksi pertimbangan
hukum MK dalam putusan tersebut. MK mengawali pertimbangan hukum dengan
penegasan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kesejahteraan. Hal ini
sebagaimana yang kita dapati dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Menurut MK,
berdasarkan Alinea IV Pembukaan UUD 1945, epenyelenggara negara, siapapun itu, harus
bekerja keras u mewujudkan kesejahteraan tersebut.
Pertanyaan yang dapat dimunculkan, siapa yang mesti disejahterakan? Dalam
Pembukaan UUD 1945 hanya disebutkan “...mewujudkan
kesejahteraan
umum” dan secara spesifik pada Sila Kelima Pancasila hanya disebutkan
“...mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Menurut MK, yang dimaksud dengan
kesejahteraan umum dalam ketentuan tersebut ialah kesejahteraan seluruh rakyat
Indonesia.
Siapa yang dimaksud rakyat Indonesia? Yaitu rakyat yang telah mengikatkan
diri sebagai Bangsa Indonesia. Rakyat yang terdiri atas berbagai golongan,
macam golongan, dan etnis dengan berbagai ragam agama, adat dan kebiasaan
masing-masing. Rakya di sini tentu saja termasuk rakyat yang telah ada sejak
sebelum terbentuknya NKRI, terlebih lagi yang diakui dan dihormati eksistensi
dan hak-hak tradisionalnya sebagai hak konstitusional. Inilah argumentasi dasar
Putusan Nomor 35/PUU-X/2012.
Hadirin yang saya hormati,
Gagasan untuk memberikan
pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat telah mengemuka sejak awal pembahasan
rancangan undang-undang dasar di BPUPKI pada tahun 1945. Pengakuan dan
penghormatan terhadap hukum adat kemudian disepakati dalam ketentuan Pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya. Setelah
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, penghormatan dan
pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tetap dipertahankan dan diperkuat. Hal
tersebut sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 ayat (2) yang menyatakan, Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara.
Mencermati
Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945, terdapat satu hal penting
dan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum, yaitu masyarakat hukum adat merupakan
penyandang hak, yang karena itu
dapat pula dibebani kewajiban. Dalam hal ini, masyarakat hukum adat merupakan subjek
hukum. Konsekuensinya, masyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatian
sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur, terutama
mengatur dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan.
Dalam kerangka pengalokasian
sumber-sumber kehidupan tersebut, Undang-Undang
Dasar 1945 secara jelas telah
menentukan dasar konstitusionalnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal
33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945, yang intinya menyatakan tiga hal
fundamental yang menjadi landasan pengaturan pengalokasian sumber-sumber
kehidupan bangsa untuk kesejahteraan, termasuk di dalamnya sumber daya alam,
seperti hutan.
Ketiga hal
fundamental tersebut ialah, pertama, penguasaan negara terhadap
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Kedua, penguasaan negara terhadap bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketiga, penguasaan
negara terhadap sumber daya tersebut, termasuk di dalamnya sumber daya alam,
dimaksudkan supaya negara dapat mengatur dalam rangka pengelolaan terhadap
sumber daya kehidupan tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik
rakyat secara individual maupun rakyat sebagai anggota masyarakat hukum adat;
Saudara-saudara
yang berbahagia,
Dari
basis argumentasi konstitusional seperti yang saya kemukakan itulah, MK sampai
pada pernyataan bahwa Undang-Undang
Kehutanan telah secara nyata memperlakukan masyarakat hukum adat secara berbeda dengan subjek hukum yang lain.
Terdapat
tiga subjek hukum yang diatur dalam Undang-Undang Kehutanan, yakni negara, masyarakat
hukum adat, dan pemegang hak atas tanah
yang di atasnya terdapat hutan. Dalam hal ini, Negara menguasai baik atas tanah
maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas
hutan. Akan tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas mendapatkan porsi pengaturan
tentang haknya atas tanah maupun hutan.
Dengan
perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan
dalam kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai
sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga
masyarakat hukum adat mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan
sebagai sumbernya. Bahkan, hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat acapkali
dilakukan dengan cara sewenang-wenang. Cara-cara seperti inilah yang tidak
jarang menimbulkan konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak.
Masyarakat hukum
adat berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka
secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara dengan hak menguasai
yang sangat kuat. Seharusnya penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil
demi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dalam Undang-Undang Kehutanan, hutan
adat secara langsung didefinisikan sebagai hutan negara yang berada di atas
tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat. Padahal, suatu hutan disebut sebagai
hutan negara apabila hutan tersebut berada di atas tanah yang tidak dibebani
suatu hak atas tanah. Hal ini memungkinkan negara memberikan hak-hak di atas
tanah hak ulayat kepada subjek hukum tertentu tanpa persetujuan masyarakat
hukum adat dan tanpa memiliki kewajiban hukum untuk membayar kompensasi kepada masyarakat
hukum adat yang mempunyai hak ulayat atas tanah tersebut. Akibatnya, masyarakat
adat tidak dapat mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang
berada di wilayah mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Berdasarkan
hal tersebut, perlu diatur hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan
negara dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara,
negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan,
peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi
di wilayah hutan negara. Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh
mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Dengan demikian, dapat dicegah
adanya aturan yang mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat, sepanjang
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945.
Hadirin yang saya hormati,
Putusan Nomor
35/PUU-X/2012 dikatakan sebagai titik
penting bagi masyarakat adat dalam perjuangan mempertahankan hak-hak
konstitusionalnya. Untuk itu, pada kesempatan ini, saya ingin membangun skema
pemahaman terhadap putusan ini. Saya akan menyampaikan secara singkat pertimbangan
MK pada setiap norma yang diuji sesuai dengan konstruksi amar putusan. Dalam
pandangan saya, terdapat 6 (enam) hal yang penting dan perlu saya sampaikan
kepada hadirin sekalian.
Saya mulai dari yang
pertama, yakni mengenai apa pertimbangan hukum MK sehingga kata “negara”
dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kehutanan dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945?
Hutan berdasarkan
statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan
hak dibedakan antara hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Setelah ada
pembedaan antara hutan negara dan hutan hak (baik yang berupa hutan
perseorangan maupun hutan adat yang tercakup dalam hak ulayat), maka tidak
dimungkinkan hutan hak berada dalam wilayah hutan negara atau sebaliknya, hutan
negara dalam wilayah hutan hak, serta hutan ulayat dalam hutan negara, sehingga
di sini menjadi jelas status dan letak hutan ulayat dalam kaitannya dengan
pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2)
UUD 1945.
Yang perlu digaris
bawahi, ketiga status hutan tersebut pada tingkatan tertinggi seluruhnya
dikuasai oleh negara. Pada konteks
ini, Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I
ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan dan perlindungan atas
keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat
hukum adat. Atas dasar itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan
negara merupakan pengabaian atau pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat hukum
adat.
Berdasarkan
argumentasi tersebut, MK membatalkan frasa “negara” dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Kehutanan. Jadi setelah Putusan MK, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang
Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”.
Hal yang Kedua
adalah mengapa MK menyatakan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Kehutanan bertentangan dengan
UUD 1945 secara bersyarat?
MK menyatakan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945
secara bersyarat sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali
dimaknai bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang. Kata “memperhatikan”
dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Kehutanan harus dimaknai lebih tegas,
yaitu negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya, sejalan dengan maksud Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945.
Hadirin
yang saya hormati,
Berikutnya hal ketiga, kenapa MK menyatakan Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat?
MK mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan berkaitan dengan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan. Oleh
karena itu, pertimbangan hukum terhadap Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan secara mutatis
mutandis berlaku pula terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan.
Namun demikian, oleh karena Pasal 5
ayat (1) Undang-Undang Kehutanan mengatur tentang kategorisasi
hubungan hukum antara subjek hukum terhadap hutan, maka hutan adat sebagai
salah satu kategorinya haruslah disebutkan secara tegas sehingga ketentuan
mengenai “kategori hutan hak di
dalamnya haruslah dimasukkan hutan adat‟.
Atas dasar itu, maka MK menyatakan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat, sehingga
ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai
bahwa “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak
termasuk hutan adat”.
Bapak-Ibu yang saya hormati,
Hal keempat,
apa pertimbangan MK menyatakan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan
bertentangan dengan UUD 1945? Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan sebenarnya
tidak diajukan uji materi oleh Pemohon. Namun MK perlu memberikan penilaian
hukum mengingat Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan berkaitan
erat dan merupakan satu kesatuan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan.
Menurut MK, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan telah memuat norma
baru yang berbeda maknanya dengan norma yang terkandung dalam Pasal 5 ayat (1)
UU Kehutanan. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan terdapat rumusan
norma yang semestinya harus diatur dalam batang tubuh pasal-pasal Undang-Undang
Kehutanan.
Yang kelima,
kenapa Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Kehutanan dinyatakan MK bertentangan
dengan UUD 1945? Menurut MK, ketentuan tersebut
berkaitan dengan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Kehutanan, sehingga pertimbangan hukum terhadap kedua pasal tersebut mutatis
mutandis berlaku terhadap Pasal 5 ayat (2) UU Kehutanan.
Dan hal keenam, apa pertimbangan frasa “dan
ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Kehutanan dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945? Pertimbangan hukumnya ialah, oleh karena Pasal 5 ayat (2)
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka frasa “dan ayat (2)” dalam
Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan tidak relevan lagi dan harus pula dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian, rumusan Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan menjadi, “Pemerintah
menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hutan
adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Keenam hal itulah
yang kiranya penting dan perlu disampaikan dalam membaca dan memahami secara tepat
Putusan Nomor 35/PUU-IX/2012. Putusan
MK tidak akan dapat dipahami dengan baik hanya dengan membaca amar putusan.
Dalam hal ini, pertimbangan hukum MK harus juga dipahami. Di dalam pertimbangan
hukum inilah keluasan dan kedalaman pertimbangan MK yang mencakup aspek
filosofis, yuridis, dan sosiologis sehingga kemudian sampai pada amar putusan.
Dari pertimbangan
hukum ini, penerimaan dan kepatuhan para pihak terhadap putusan MK ditentukan.
Seperti yang kita ketahui, terdapat beberapa putusan MK yang pada awalnya direspon
dengan keras. Namun pada akhirnya, putusan tersebut diterima dan dilaksanakan
setelah memahami pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan.
Saudara-saudara yang
berbahagia,
Terkait dengan
implikasi putusan, saya tidak dapat berbicara terlampau jauh karena hal tersebut
berada di luar kewenangan MK. Yang pasti, saya ingin mengatakan, sebagai
putusan peradilan, putusan MK pasti membawa sejumlah konsekuensi.
Pertama,
sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno MK yang terbuka untuk umum,
yakni pada 16 Mei 2013, maka hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan
negara yang berada di bawah penguasaan Negara, dalam hal ini Kementerian
Kehutanan, tetapi berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Kedua,
melalui putusan ini, MK telah berperan menguatkan posisi hak dan peran masyarakat
adat dalam penguasaan tanah dan sumber daya hutannya. Putusan ini
mengembalikan hak-hak masyarakat adat terhadap hutannya, maka dari itu
masyarakat adat kembali berdaulat di atas tanahnya. Masyarakat adat telah seharusnya diberi ruang untuk menghidupkan kembali
nilai-nilai kearifan lokal yang mereka punya.
Ketiga,
meski telah mendapat penguatan MK, status masyarakat hukum adat sebagai subyek
hukum dalam penguasaan hutan adat perlu dikukuhkan dalam peraturan
perundangan-undangan di berbagai tingkatan, baik di tingkat pusat, provinsi,
maupun kabupaten/kota. Karena itulah, semua pihak harus mengambil peran dan
tanggungjawab untuk mengawal agar spirit putusan MK dapat diderivasi ke semua
tingkatan peraturan dan dilaksanakan.
Hadirin yang saya hormati,
Sebelum mengakhiri
ceramah ini, saya ingin mengingatkan, tanah dan hutan merupakan sumber daya
terbatas yang di dalamnya terdapat banyak kepentingan, terutama para pelaku
bisnis, yang mungkin saja menempuh berbagai cara, termasuk melalui jalur hukum untuk
mendapatkan kepemilikan tanah.
Karena itu, selain
mengupayakan penguatan status masyarakat adat sebagai subyek hukum melalui
revisi dan perbaikan atas peraturan perundang-undangan, yang tidak kalah
penting untuk dilakukan ialah peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat itu
sendiri.
Saya berharap, upaya
memikirkan dan mengupayakan peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat
mendapatkan porsi yang cukup dalam Rapat Kerja ini. Tanpa peningkatan
kapasitas, masyarakat hukum adat sangat rentan untuk kembali dikalahkan atau
diabaikan hak-hak konstitusionalnyam terutama dalam pusaran dan tarik ulur
pengaturan hutan.
Sekian.
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Ketua Mahkamah
Konstitusi,
Dr. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
[1] sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang.
[2] Kelima bupati tersebut ialah
Bupati Kapuas, Bupati Gunung Mas, Bupati Katingan, Bupati Barito Timur, dan
Bupati Sukamara, sedangkan pengusaha tersebut bernama Akhmad Taufik.