KEARIFAN LOKAL

“Menuju DAD Yang Modern Dan Mandiri Dengan Spirit Kearifan Lokal Dalam Bingkai NKRI" : Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata"(Adil Terhadap Sesama, Hidup Baik Pada Jalan Kebenaran, Taat Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)

Selasa, 16 Desember 2014

MATERI KETUA MK PENGAKUAN WILAYAH DAN MASYARAKAT ADAT

CERAMAH KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI,
Dr. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.
PADA RAPAT KERJA NASIONAL
MAJELIS ADAT DAYAK NASIONAL TAHUN 2013
Palangkaraya, 30 Agustus 2013

Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wa barakatuh.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.
·    Yang terhormat, Presiden Majelis Adat Dayak Nasional, yang juga Gubernur Kalimantan Tengah, Saudara Agustin Teras Narang;
·    Yang saya hormati, Para Pemuka Adat dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak;
·          Peserta Rapat Kerja Nasional Majelis Adat Dayak Nasional; dan
·          Seluruh hadirin yang berbahagia.

Saya mengucapkan terima kasih dan memberikan apresiasi atas terselenggaranya Rapat Kerja Nasional Majelis Adat Dayak Nasional Tahun 2013. Meskipun Rapat Kerja seperti ini merupakan kegiatan rutin tahunan, setidaknya dari forum Rapat Kerja ini, kita berharap akan muncul gagasan dan rekomendasi konstruktif yang bermanfaat bagi masyarakat luas, terutama bagi masyarakat hukum adat.
Untuk itu, dalam forum Rapat Kerja  Nasional ini, saya diminta menyampaikan hal-hal yang terkait dengan pertimbangan dan konsekuensi hukum Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Hadirin yang berbahagia,
Jika dilakukan identifikasi, persoalan di sektor kehutanan selama ini sesungguhnya terletak pada pengaturan sektor kehutanan yang kurang memberikan keadilan dan kepastian hukum, terutama kepada masyarakat adat.  Padahal, seperti yang kita ketahui, kesatuan masyarakat hukum adat memiliki sejarah panjang dan landasan konstitusional yang kuat terkait atas penguasaan tanah dan sumber daya hutan di wilayah adatnya sendiri.  Karena itu, wajar jika kalangan masyarakat adat tidak berhenti memperjuangkan hak-hak konstitusionanya. Salah satu perjuangan yang dilakukan ialah menguji konstitusionalitas Undang-Undang Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi.
Setidaknya sampai hari ini, MK telah memutus 3 (tiga) perkara pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999[1] tentang Kehutanan, yaitu: (1) Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, yang diajukan oleh 5 (lima) bupati di Kalimantan Tengah dan seorang pengusaha,[2] (2) Putusan Nomor 34/PUU-IX/2013, yang diajukan seorang pengusaha perkebunan dari Jambi, dan (3) Putusan Nomor 35/PUU-IX/2012 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegrian Kuntu, Kabupaten Kampar Provinsi Riau, dan  Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu, Lebak, Banten.
Ketiga putusan tersebut sama-sama memiliki makna penting dalam politik hukum kehutanan negara ini. Namun demikian, Putusan Nomor 35/PUU-IX/2012 dinilai paling menonjol dimensi perlindungan terhadap masyarakat adat.

Hadirin yang saya muliakan,
Dalam perkara Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, Pemohon mendalilkan bahwa di dalam Undang-Undang Kehutanan terdapat norma yang melanggar prinsip persamaan di depan hukum sebagai salah satu ciri negara hukum atau rule of law karena bertentangan dengan asas legalitas, prediktabilitas, dan transparansi yang diakui dan diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menjadi salah satu prinsip pokok bagi tegaknya negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Jika dilihat permohonannya, Pemohon membagi norma yang diuji ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: (1) Pengujian terhadap ketentuan-ketentuan yang mengatur status dan penetapan hutan adat; dan (2) Pengujian terhadap ketentuan-ketentuan yang mengatur bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat. Atas permohonan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan Pemohon. Terdapat setidaknya 6 (enam) hal yang nanti akan saya uraikan lebih lanjut mengapa MK mengabulkan permohonan Pemohon.
Namun sebelum itu, saya ingin menyampaikan terlebih dulu kerangka besar yang mendasari konstruksi pertimbangan hukum MK dalam putusan tersebut. MK mengawali pertimbangan hukum dengan penegasan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kesejahteraan. Hal ini sebagaimana yang kita dapati dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Menurut MK, berdasarkan Alinea IV Pembukaan UUD 1945, epenyelenggara negara, siapapun itu, harus bekerja keras u mewujudkan kesejahteraan tersebut.
Pertanyaan yang dapat dimunculkan, siapa yang mesti disejahterakan? Dalam Pembukaan UUD 1945 hanya disebutkan “...mewujudkan kesejahteraan umum” dan secara spesifik pada Sila Kelima Pancasila hanya disebutkan “...mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Menurut MK, yang dimaksud dengan kesejahteraan umum dalam ketentuan tersebut ialah kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Siapa yang dimaksud rakyat Indonesia? Yaitu rakyat yang telah mengikatkan diri sebagai Bangsa Indonesia. Rakyat yang terdiri atas berbagai golongan, macam golongan, dan etnis dengan berbagai ragam agama, adat dan kebiasaan masing-masing. Rakya di sini tentu saja termasuk rakyat yang telah ada sejak sebelum terbentuknya NKRI, terlebih lagi yang diakui dan dihormati eksistensi dan hak-hak tradisionalnya sebagai hak konstitusional. Inilah argumentasi dasar Putusan Nomor 35/PUU-X/2012.
Hadirin yang saya hormati,
Gagasan untuk memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat telah mengemuka sejak awal pembahasan rancangan undang-undang dasar di BPUPKI pada tahun 1945. Pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat kemudian disepakati dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya. Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, penghormatan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tetap dipertahankan dan diperkuat. Hal tersebut sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 ayat (2) yang menyatakan, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara.
          Mencermati Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, terdapat satu hal penting dan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum, yaitu masyarakat hukum adat merupakan penyandang hak, yang karena itu dapat pula dibebani kewajiban. Dalam hal ini, masyarakat hukum adat merupakan subjek hukum. Konsekuensinya, masyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatian sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur, terutama mengatur dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan.
Dalam kerangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas telah menentukan dasar konstitusionalnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945, yang intinya menyatakan tiga hal fundamental yang menjadi landasan pengaturan pengalokasian sumber-sumber kehidupan bangsa untuk kesejahteraan, termasuk di dalamnya sumber daya alam, seperti hutan.
Ketiga hal fundamental tersebut ialah, pertama, penguasaan negara terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Kedua, penguasaan negara terhadap bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketiga, penguasaan negara terhadap sumber daya tersebut, termasuk di dalamnya sumber daya alam, dimaksudkan supaya negara dapat mengatur dalam rangka pengelolaan terhadap sumber daya kehidupan tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik rakyat secara individual maupun rakyat sebagai anggota masyarakat hukum adat;

Saudara-saudara yang berbahagia,
Dari basis argumentasi konstitusional seperti yang saya kemukakan itulah, MK sampai pada pernyataan bahwa Undang-Undang Kehutanan telah secara nyata memperlakukan masyarakat hukum adat secara berbeda dengan subjek hukum yang lain.
Terdapat tiga subjek hukum yang diatur dalam Undang-Undang Kehutanan, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Dalam hal ini, Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan. Akan tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas mendapatkan porsi pengaturan tentang haknya atas tanah maupun hutan.
Dengan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan dalam kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan, hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat acapkali dilakukan dengan cara sewenang-wenang. Cara-cara seperti inilah yang tidak jarang menimbulkan konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak.
Masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara dengan hak menguasai yang sangat kuat. Seharusnya penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk  mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
          Dalam Undang-Undang Kehutanan, hutan adat secara langsung didefinisikan sebagai hutan negara yang berada di atas tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat. Padahal, suatu hutan disebut sebagai hutan negara apabila hutan tersebut berada di atas tanah yang tidak dibebani suatu hak atas tanah. Hal ini memungkinkan negara memberikan hak-hak di atas tanah hak ulayat kepada subjek hukum tertentu tanpa persetujuan masyarakat hukum adat dan tanpa memiliki kewajiban hukum untuk membayar kompensasi kepada masyarakat hukum adat yang mempunyai hak ulayat atas tanah tersebut. Akibatnya, masyarakat adat tidak dapat mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang berada di wilayah mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
          Berdasarkan hal tersebut, perlu diatur hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Dengan demikian, dapat dicegah adanya aturan yang mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat, sepanjang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Hadirin yang saya hormati,
Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 dikatakan sebagai titik penting bagi masyarakat adat dalam perjuangan mempertahankan hak-hak konstitusionalnya. Untuk itu, pada kesempatan ini, saya ingin membangun skema pemahaman terhadap putusan ini. Saya akan menyampaikan secara singkat pertimbangan MK pada setiap norma yang diuji sesuai dengan konstruksi amar putusan. Dalam pandangan saya, terdapat 6 (enam) hal yang penting dan perlu saya sampaikan kepada hadirin sekalian.
Saya mulai dari yang pertama, yakni mengenai apa pertimbangan hukum MK sehingga kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kehutanan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945?
Hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Setelah ada pembedaan antara hutan negara dan hutan hak (baik yang berupa hutan perseorangan maupun hutan adat yang tercakup dalam hak ulayat), maka tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam wilayah hutan negara atau sebaliknya, hutan negara dalam wilayah hutan hak, serta hutan ulayat dalam hutan negara, sehingga di sini menjadi jelas status dan letak hutan ulayat dalam kaitannya dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Yang perlu digaris bawahi, ketiga status hutan tersebut pada tingkatan tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.      Pada konteks ini, Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat dalam kesatuan dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat. Atas dasar itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan pengabaian atau pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.
Berdasarkan argumentasi tersebut, MK membatalkan frasa “negara” dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kehutanan. Jadi setelah Putusan MK, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Hal yang Kedua adalah mengapa MK menyatakan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat?
MK menyatakan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.  Kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Kehutanan harus dimaknai lebih tegas, yaitu negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sejalan dengan maksud Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Hadirin yang saya hormati,
Berikutnya hal ketiga, kenapa MK menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat?
MK mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan berkaitan dengan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan. Oleh karena itu, pertimbangan hukum terhadap Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan secara mutatis mutandis berlaku pula terhadap Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan.
Namun demikian, oleh karena Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan mengatur tentang kategorisasi hubungan hukum antara subjek hukum terhadap hutan, maka hutan adat sebagai salah satu kategorinya haruslah disebutkan secara tegas sehingga ketentuan mengenai “kategori hutan hak di dalamnya haruslah dimasukkan hutan adat‟.
Atas dasar itu, maka MK menyatakan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat, sehingga ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”.

Bapak-Ibu yang saya hormati,
Hal keempat, apa pertimbangan MK menyatakan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945? Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan sebenarnya tidak diajukan uji materi oleh Pemohon. Namun MK perlu memberikan penilaian hukum mengingat Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan berkaitan erat dan merupakan satu kesatuan dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan.
Menurut MK, Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan telah memuat norma baru yang berbeda maknanya dengan norma yang terkandung dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan. Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan terdapat rumusan norma yang semestinya harus diatur dalam batang tubuh pasal-pasal Undang-Undang Kehutanan.
Yang kelima, kenapa Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Kehutanan dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945? Menurut MK, ketentuan tersebut berkaitan dengan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kehutanan, sehingga pertimbangan hukum terhadap kedua pasal tersebut mutatis mutandis berlaku terhadap Pasal 5 ayat (2) UU Kehutanan.
Dan hal keenam, apa pertimbangan frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Kehutanan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Pertimbangan hukumnya ialah, oleh karena Pasal 5 ayat (2) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan tidak relevan lagi dan harus pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dengan demikian, rumusan Pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan menjadi, “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Keenam hal itulah yang kiranya penting dan perlu disampaikan dalam membaca dan memahami secara tepat Putusan Nomor 35/PUU-IX/2012. Putusan MK tidak akan dapat dipahami dengan baik hanya dengan membaca amar putusan. Dalam hal ini, pertimbangan hukum MK harus juga dipahami. Di dalam pertimbangan hukum inilah keluasan dan kedalaman pertimbangan MK yang mencakup aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis sehingga kemudian sampai pada amar putusan.
Dari pertimbangan hukum ini, penerimaan dan kepatuhan para pihak terhadap putusan MK ditentukan. Seperti yang kita ketahui, terdapat beberapa putusan MK yang pada awalnya direspon dengan keras. Namun pada akhirnya, putusan tersebut diterima dan dilaksanakan setelah memahami pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan.
Saudara-saudara yang berbahagia,
Terkait dengan implikasi putusan, saya tidak dapat berbicara terlampau jauh karena hal tersebut berada di luar kewenangan MK. Yang pasti, saya ingin mengatakan, sebagai putusan peradilan, putusan MK pasti membawa sejumlah konsekuensi.
Pertama, sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno MK yang terbuka untuk umum, yakni pada 16 Mei 2013, maka hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara yang berada di bawah penguasaan Negara, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, tetapi berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Kedua, melalui putusan ini, MK telah berperan menguatkan posisi hak dan peran masyarakat adat dalam penguasaan tanah dan sumber  daya hutannya. Putusan ini mengembalikan hak-hak masyarakat adat terhadap hutannya, maka dari itu masyarakat adat kembali berdaulat di atas tanahnya. Masyarakat adat telah seharusnya diberi ruang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang mereka punya.
Ketiga, meski telah mendapat penguatan MK, status masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum dalam penguasaan hutan adat perlu dikukuhkan dalam peraturan perundangan-undangan di berbagai tingkatan, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Karena itulah, semua pihak harus mengambil peran dan tanggungjawab untuk mengawal agar spirit putusan MK dapat diderivasi ke semua tingkatan peraturan dan dilaksanakan.

Hadirin yang saya hormati,
Sebelum mengakhiri ceramah ini, saya ingin mengingatkan, tanah dan hutan merupakan sumber daya terbatas yang di dalamnya terdapat banyak kepentingan, terutama para pelaku bisnis, yang mungkin saja menempuh berbagai cara, termasuk melalui jalur hukum untuk mendapatkan kepemilikan tanah.
Karena itu, selain mengupayakan penguatan status masyarakat adat sebagai subyek hukum melalui revisi dan perbaikan atas peraturan perundang-undangan, yang tidak kalah penting untuk dilakukan ialah peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat itu sendiri.
Saya berharap, upaya memikirkan dan mengupayakan peningkatan kapasitas masyarakat hukum adat mendapatkan porsi yang cukup dalam Rapat Kerja ini. Tanpa peningkatan kapasitas, masyarakat hukum adat sangat rentan untuk kembali dikalahkan atau diabaikan hak-hak konstitusionalnyam terutama dalam pusaran dan tarik ulur pengaturan hutan.
Sekian.
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Ketua Mahkamah Konstitusi,


Dr. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.


[1] sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
[2] Kelima bupati tersebut ialah Bupati Kapuas, Bupati Gunung Mas, Bupati Katingan, Bupati Barito Timur, dan Bupati Sukamara, sedangkan pengusaha tersebut bernama Akhmad Taufik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar