Meskipun Beliau telah tiada, karya dan baktimu senantiasa dikenang dan terus menjadi semangat bagi para generasi penerus Dayak dalam memperjuangkan harkat, martabat dan hak-hak masyarakat adat Dayak. Melalui tulisan ini, ingin kami sampaikan satu tulisan dari salah satu Wakil Ketua DAD Prov. Kalteng (Dr. Suwido Limin) sebagai bentuk apresiasi atas karya dan bakti beliau :
"Bapak Prof. KMA Usop, MA jadi malihi. Pasti are uluh bapander-hamauh, itah kanihauan putra terbaik. Metuh Beliau belum, auh je putra terbaik te jatun tapahining. Perjuangan Beliau membela utus nyelu 2001, inawan induan dengan paksa langsung inawam hung jakarta, jatun uluh mingat ah samasinde. Ampi kalunen tuh, cara nantuani kasalan kulau metuh kulae te belum, harue mingat kahalap kulae, amun kulae te jadi malihi. Tagal te herah ah utus itah tuh bahali maju, awi panalingai. Metuh mampahinje haluli 3 biti tokoh sentral utus (KMA. U, SA dan LKDR) haru-haru tuh nah, tege je manyewut gawi te kurang pas. Angat ah Tuhan mangahandak, kilen ampi je papa hubah manjadi bahalap, diya manyuhu je bahalap hubah bajuju menjadi papa. (Bapaku, Tokohku, Bapak Prof. KMA Usop, MA patut inyewut TOKOH PAMBELA UTUS). Tks. SHL (16.08.15).
SELAMAT JALAN BAPAK TERKASIH..engkau telah tiada, namun semangatmu akan selalu hidup dalam hati kami, selama utus dayak ada dI muka bumi..
Masih banyak wujud apresiasi terhadap beliau dari berbagai elemen masyarakat, beberapa diantaranya dari Sdr. Dr. Marco Mahin (Marx Mahin) :
KALTENG BERDUKACITA,
OBITUARI UNTUK “MAMA BAPA FAJAR”
PROF. HAJI KENNA MOHAMMAD AINI MATSEMAN USOP, MA
Oleh : Marx Mahin
Minggu, 16 Agustus 2015, pagi subuh ketika alam masih berselimut embun, engkau pergi meninggalkan kami semua. Dengan dada sesak karena rasa dukacita, aku menaikkan bendera merah-putih setiang penuh untuk merayakan 17 Agustus besok. Jujur, aku ingin menaikkan bendera setengah tiang. Sesungguhnya, aku ingin berteriak kepada semua tetanggaku, semua saudaraku, semua kawanku, semua masyarakat Kalimantan Tengah untuk menaikkan bendera setengah tiang karena kepergianmu.
Mohon ijin, aku ingin menyebut nama lengkapmu: Professor Haji Kenna Mohammad Aini Matseman Usop,MA. Namun engkau lebih dikenal dengan nama singkat KMA Usop, atau Pak Usop atau Prof Usop. Sebagaimana layaknya tradisi Dayak Ngaju, para keluarga dekat memanggilmu “Bapa Fajar”, sesuai dengan nama anak tertuamu. Dalam tulisan ini aku ingin menjadi bagian dari keluarga dengan memanggilmu “Mama Bapa Fajar” (Paman Bapak Fajar), sehingga di ruang batinku, posisimu setara dengan ayah kandungku.
Mohon maaf pula kalau ber-AKU dan ber-KAMU, ber-ENGKAU dalam tulisan ini. Bukannya aku tidak tahu adat, atau bersikap kurang-ajar, tetapi inilah gambaran subyektivitas batinku, KECINTAANKU dan HORMATKU yang sangat kehilangan orang besar seperti dirimu.
Mama Bapa Fajar, aku ingat dirimu pada tahun tanggal 18 Desember 1993, dengan “lawung bahandang” (ikat kepala merah) berdiri tegak memimpin rakyat Kalteng memprotes gubernur titipan yang diturunkan oleh Rezim Orde Baru. Engkau menuntut agar Kalimantan Tengah dipimpin oleh orang Kalimantan Tengah. Kurang lebih 3,000 orang massa rakyat Dayak bersamamu saat itu, berdiri rapat di depan Kantor DPRD Tingkat I Kalteng, mengajukan protes dan perlawanan.
Menurut peneliti Belanda: Gerry van Klinken, pada saat itu melalui LMMD-KT engkau mengusung ideologi Rumah Betang dan Semangat Tumbang Anoi 1894 untuk mempersatukan rakyat Kalimantan Tengah melawan struktur pemerintahan yang cenderung menindas masyarakat Dayak Kalimantan Tengah yang sangat kau cintai. Aku sendiri sangat meyakini, engkaulah Bapak Ideologi Rumah Betang Kalimantan Tengah. Dalam bukumu "Pakat Dayak: Sejarah Integrasi dan Jatidiri Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah" (1990), engkau menyebutnya sebagai KEBANGKITAN DAERAH II dan periode itu kamu sebut sebagai PAKAT DAYAK V, tahap dimana orang Dayak dengan berani menentang Jakarta atau Pemerintah Pusat. Persis seperti tahun 50-an (ketika Mandolin Simbar dengan GMTPS dan Mahir Mahar dengan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah menentang Jakarta untuk menuntut dibentuknya Provinsi Kalimantan Tengah yang berdiri pada tahun 1957), engkau berdiri tegak menentang Jakarta. Pada saat itu dengan tegas engkau menyatakan bahwa, Kalimantan Tengah adalah bagian yang tak terpisahkan dari 'Rumah Besar' yaitu Negara dan bangsa Indonesia, dan juga Kalimantan Tengah adalah "Rumah Kecil", "Rumah Orang Dayak" yang majemuk.
Mama Bapa Fajar, aku ingat dirimu pada peristiwa konflik Sampit 2001. Dengan tanpa memperhitungkan keselamatan dirimu, engkau turun lapangan mendamaikan orang-orang yang saling-tikam sesamanya. Sebagai seorang Muslim, dengan berani engkau mengatakan bahwa itu bukan konflik antar agama, tetapi murni antar kelompok masyarakat yang sebenarnya adalah sama-sama orang kecil korban dari pembangunan.
Pernyataanmu yang sangat bijak
itu meredam kemarahan dan menyejukkan hati yang panas. Engkau membela
utus, dengan semangat kenegarawanmu. Inilah sumbangan nyatamu untuk bumi
Kalimatan Tengah tempat kelahiranmu yaitu menjadi Bapak Perdamaian bagi
suku-suku yang bertikai.
Mama Bapa Fajar, masa-masa akhir hidupmu diisi dengan kegelisahan tentang perampasan tanah (land grabbing), dimana banyak tanah adat, tanah masyarakat adat Dayak diserobot oleh Perusahaan Besar Sawit dan Pertambangan. Engkau mendorong semua pihak untuk melakukan Pengakuan dan Perlindungan Wilayah Masyarakat Adat Dayak. Engkau yang sudah sepuh, dengan “sedikit marah” mendorong kami untuk membuat naskah akademik dan mengajukan Perda Iniasiatif untuk Pengakuan dan Perlindungan Wilayah Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
Engkau sangat bersemangat Ma. Sampai-sampai kami yang muda ini malu dengan semangatmu itu. Dengan semangat berapi-api engkau berkata. “Harus kita sendiri dulu yang mengakui dan melindungi wilayah adat kita, jangan minta orang lain mengakuinya kalau engkau sendiri tidak mengakui dan melindunginya, bagaimana mungkin orang lain mengakui dan melindunginya”. Mohon ampun Mama Bapa Fajar, Perda yang Mama maksudkan itu sedang dalam proses dan sedang diperjuangkan.
Mama Bapa Fajar, secara pribadi aku ingin mengatakan bahwa engkau adalah sosok pahlawan bagiku. Engkau adalah "Pembela Utus" dengan kecendiakawanmu. Bagiku Engkaulah PEJUANG DAYAK.
Sekali lagi mohon maaf dan mohon ampun, karena ketika membuat tulisan ini, aku bertanya dalam hati,”Kenapa engkau meninggalkan kami pada tanggal 16 Agustus 2015?” Apakah Engkau ingin disemayamkan, kembali ke rahim bumi Kalimantan Tengah, pada tanggal 17 Agustus 2015”, pada hari keramat bangsa Indonesia untuk merayakan pembebasan dari penjajahan?” Atau ada pesan lain yang ingin Engkau sampaikan?
Selamat jalan Mama Bapa Fajar, Sang Pejuang Dayak. Biarlah semangat dan tauladanmu menjadi kekayaan rohani bagi kami yang masih hidup.
Pasah Kalingu, 16 Agustus 2015
Marx Mahin
KALTENG BERDUKACITA,
OBITUARI UNTUK “MAMA BAPA FAJAR”
PROF. HAJI KENNA MOHAMMAD AINI MATSEMAN USOP, MA
Oleh : Marx Mahin
Minggu, 16 Agustus 2015, pagi subuh ketika alam masih berselimut embun, engkau pergi meninggalkan kami semua. Dengan dada sesak karena rasa dukacita, aku menaikkan bendera merah-putih setiang penuh untuk merayakan 17 Agustus besok. Jujur, aku ingin menaikkan bendera setengah tiang. Sesungguhnya, aku ingin berteriak kepada semua tetanggaku, semua saudaraku, semua kawanku, semua masyarakat Kalimantan Tengah untuk menaikkan bendera setengah tiang karena kepergianmu.
Mohon ijin, aku ingin menyebut nama lengkapmu: Professor Haji Kenna Mohammad Aini Matseman Usop,MA. Namun engkau lebih dikenal dengan nama singkat KMA Usop, atau Pak Usop atau Prof Usop. Sebagaimana layaknya tradisi Dayak Ngaju, para keluarga dekat memanggilmu “Bapa Fajar”, sesuai dengan nama anak tertuamu. Dalam tulisan ini aku ingin menjadi bagian dari keluarga dengan memanggilmu “Mama Bapa Fajar” (Paman Bapak Fajar), sehingga di ruang batinku, posisimu setara dengan ayah kandungku.
Mohon maaf pula kalau ber-AKU dan ber-KAMU, ber-ENGKAU dalam tulisan ini. Bukannya aku tidak tahu adat, atau bersikap kurang-ajar, tetapi inilah gambaran subyektivitas batinku, KECINTAANKU dan HORMATKU yang sangat kehilangan orang besar seperti dirimu.
Mama Bapa Fajar, aku ingat dirimu pada tahun tanggal 18 Desember 1993, dengan “lawung bahandang” (ikat kepala merah) berdiri tegak memimpin rakyat Kalteng memprotes gubernur titipan yang diturunkan oleh Rezim Orde Baru. Engkau menuntut agar Kalimantan Tengah dipimpin oleh orang Kalimantan Tengah. Kurang lebih 3,000 orang massa rakyat Dayak bersamamu saat itu, berdiri rapat di depan Kantor DPRD Tingkat I Kalteng, mengajukan protes dan perlawanan.
Menurut peneliti Belanda: Gerry van Klinken, pada saat itu melalui LMMD-KT engkau mengusung ideologi Rumah Betang dan Semangat Tumbang Anoi 1894 untuk mempersatukan rakyat Kalimantan Tengah melawan struktur pemerintahan yang cenderung menindas masyarakat Dayak Kalimantan Tengah yang sangat kau cintai. Aku sendiri sangat meyakini, engkaulah Bapak Ideologi Rumah Betang Kalimantan Tengah. Dalam bukumu "Pakat Dayak: Sejarah Integrasi dan Jatidiri Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah" (1990), engkau menyebutnya sebagai KEBANGKITAN DAERAH II dan periode itu kamu sebut sebagai PAKAT DAYAK V, tahap dimana orang Dayak dengan berani menentang Jakarta atau Pemerintah Pusat. Persis seperti tahun 50-an (ketika Mandolin Simbar dengan GMTPS dan Mahir Mahar dengan Kongres Rakyat Kalimantan Tengah menentang Jakarta untuk menuntut dibentuknya Provinsi Kalimantan Tengah yang berdiri pada tahun 1957), engkau berdiri tegak menentang Jakarta. Pada saat itu dengan tegas engkau menyatakan bahwa, Kalimantan Tengah adalah bagian yang tak terpisahkan dari 'Rumah Besar' yaitu Negara dan bangsa Indonesia, dan juga Kalimantan Tengah adalah "Rumah Kecil", "Rumah Orang Dayak" yang majemuk.
Mama Bapa Fajar, aku ingat dirimu pada peristiwa konflik Sampit 2001. Dengan tanpa memperhitungkan keselamatan dirimu, engkau turun lapangan mendamaikan orang-orang yang saling-tikam sesamanya. Sebagai seorang Muslim, dengan berani engkau mengatakan bahwa itu bukan konflik antar agama, tetapi murni antar kelompok masyarakat yang sebenarnya adalah sama-sama orang kecil korban dari pembangunan.
foto alm. Prof. H. KMA. M. Usop, MA. Tanggal, 4-8-2015 |
Mama Bapa Fajar, masa-masa akhir hidupmu diisi dengan kegelisahan tentang perampasan tanah (land grabbing), dimana banyak tanah adat, tanah masyarakat adat Dayak diserobot oleh Perusahaan Besar Sawit dan Pertambangan. Engkau mendorong semua pihak untuk melakukan Pengakuan dan Perlindungan Wilayah Masyarakat Adat Dayak. Engkau yang sudah sepuh, dengan “sedikit marah” mendorong kami untuk membuat naskah akademik dan mengajukan Perda Iniasiatif untuk Pengakuan dan Perlindungan Wilayah Masyarakat Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
Engkau sangat bersemangat Ma. Sampai-sampai kami yang muda ini malu dengan semangatmu itu. Dengan semangat berapi-api engkau berkata. “Harus kita sendiri dulu yang mengakui dan melindungi wilayah adat kita, jangan minta orang lain mengakuinya kalau engkau sendiri tidak mengakui dan melindunginya, bagaimana mungkin orang lain mengakui dan melindunginya”. Mohon ampun Mama Bapa Fajar, Perda yang Mama maksudkan itu sedang dalam proses dan sedang diperjuangkan.
Mama Bapa Fajar, secara pribadi aku ingin mengatakan bahwa engkau adalah sosok pahlawan bagiku. Engkau adalah "Pembela Utus" dengan kecendiakawanmu. Bagiku Engkaulah PEJUANG DAYAK.
Sekali lagi mohon maaf dan mohon ampun, karena ketika membuat tulisan ini, aku bertanya dalam hati,”Kenapa engkau meninggalkan kami pada tanggal 16 Agustus 2015?” Apakah Engkau ingin disemayamkan, kembali ke rahim bumi Kalimantan Tengah, pada tanggal 17 Agustus 2015”, pada hari keramat bangsa Indonesia untuk merayakan pembebasan dari penjajahan?” Atau ada pesan lain yang ingin Engkau sampaikan?
Selamat jalan Mama Bapa Fajar, Sang Pejuang Dayak. Biarlah semangat dan tauladanmu menjadi kekayaan rohani bagi kami yang masih hidup.
Pasah Kalingu, 16 Agustus 2015
Marx Mahin