RINGKASAN
SEJARAH RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI
TAHUN 1894
Oleh.
T.T. Suan
Ahim S Rusan
Kumpiady Widen
I.
PENGANTAR
Naskah
Ringkasan Sejarah Rapat Damai Tumbang Anoi Tahun 1894 ini disusun sesuai dengan
Surat Tugas dari Panitia Tumpung Hai
Pakat Dayak Kalimantan Tengah dan Napak Tilas Rapat Damai Tumbang Anoi, No.
28/MADN/IX/2014 tgl. 20 September
2014. Dengan segala keterbatasan, Tim berupaya memenuhi permintaan tersebut.
Naskah ini terdiri atas beberapa bagian, yaitu:
I.
Pengantar
II.
Kalimantan Tengah pada Abad ke 19.
III.
Persiapan Rapat Damai Tumbang Anoi.
IV.
Pembukaan dan Pelaksanaan Rapat Damai
Tumbang Anoi.
V.
Hasil-hasil Rapat Damai Tumbang Anoi
Tahun 1894.
VI.
Penutupan Rapat Damai Tumbang Anoi.
VII.
Penutup.
Bagian VII merupakan refleksi dari Tim
mengenai nilai-nilai yang dapat dipetik dari Rapat Damai Tumbang Anoi 1894
tersebut.
Akhirnya atas segala kekurangan dalam
Ringkasan ini, Tim meminta maaf dan
terima kasih kepada Panitia yang telah mempercayakan tugas ini kepada kami.
II. KALIMANTAN TENGAH PADA ABAD KE 19
Ketika berakhirnya pendudukan colonial
Inggris di Indonesia pada tahun 1817,
Pemerintah Hindia Belanda kembali menduduki Banjarmasin. Pemerintah Hindia
Belanda memaksa Kesultanan Banjar agar menyerahkan secara tertulis wilayah-wilayah
yang secara tidak langsung dikuasai oleh Kesultanan Banjar kepada Pemerintah kolonial
Belanda. Oleh sebab itu Sultan Sulaiman
(Sultan Banjar) menandatangani Persetujuan Karang Intan 1-1-1817 dan dilakukan di hadapan Residen J.D.J. Aernoud van Boekholzt. Dalam
Persetujuan Karang Intan Pertama(1-1-1817)
telah dipertegas bahwa kawasan yang disebut wilayah Dayak itu adalah Dayak
Besar dan Dayak Kecil (de Grote en
Kleine Dajak).
Persetujuan Karang IntanPertama kemudian mengalami
beberapa perubahan, peralihan dan penyempurnaan pada 13-9-1823, sehingga berubah
menjadi Persetujuan Karang Intan Kedua
di depan Residen Mr. Tobias. Dengan
dibuatkannya persetujuan Karang Intan Kedua
tersebut di dalamnya ditulis secara tegas kawasan-kawasan yang diserahkan
kepada Pemerintah Hindia Belanda yaitu: Fort Tatas, Kween, Kutai, Berau, Pulau
Laut, Pasir, Taboniau, Pegatan, Sampit dan seluruh daerah taklukannya (daerah
di bawah pengaruh Kesultanan Banjar), yakni, sesuai dengan nama kawasan yang
pernah diserahkan kepada pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1812 yang
ditandatangani oleh Sultan Sulaiman dan Residen Inggris Alexander Hare.
Berdasarkan
Persetujuan Karang Intan Kedua itu
pula maka wilayah yang oleh Belanda
disebut Dajaksche Provintien (wilayah
Provinsi Dayak) meliputi
kawasan-kawasan Kapuas, Kahayan, Dusun, Pembuang (Seruyan), Katingan, Sampit,
Kotawaringin dan Jelaiserta kawasan-kawasan Mendawai, Sampit, Jelai, dan
Kotawaringin. Sejak tahun 1823 Pemerintah Hindia
Belanda mulai mengurus Wilayah Dayak yang berdasarkan Persetujuan Karang Intan Kedua dan tidak lagi berada di bawah
pengaruh Kesultanan Banjar.
Dengan berlakunya
kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1823 di daerah yang disebut Dajaksche Provintien ternyata kekuasaan
Pemerintah Hindia Belanda tidaklah berjalan mulus dan efektif karena daerah
yang diklaim sebagai daerah jajahan Belanda di Kalimantan adalah sangat luas.
Akibatnya aparatur kekuasaan Pemerintah HindiaBelanda masih belum mampu
menjangkau seluruh wilayah tersebut, terutama daerah pedalaman Suku Dayak.
III. PERSIAPAN RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI
Dengan
kondisi Pemerintahan Hindia Belanda seperti tersebut di atas, kondisi
masyarakat Dayakmenjadi semakin tidak terurus. Kondisi demikian diperparah lagi
karena masih sering terjadi peperangan dan pembunuhan diantara suku Dayak, yang
oleh Johnly Friady disebut dengan 3H
(Hakayau, Habunu, Hatetek). Untuk menghentikan 3H tersebut, Pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 15 September1893 mengeluarkan Surat Kuasa guna
menugaskan para Resident Afdeling Bagian Barat dan Resident Afdeling Bagian
Selatan dan Resident Afdeling Timur Kalimantan, melalui Controleur Afdeling
Tanah Dayak dan Controleur Afdeling Bagian Melawi untuk mengadakan pertemuan
dengan Kepala-Kepala Adat Melayu dan Dayak serta dengan pihak-pihak terkait.
Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk memeriksa dan sedapat mungkin
menyelesaikan berbagai kasus peperangan dan pembunuhan serta perkara-perkara lainnya
yang sering terja di dalam masyarakat sesuai dengan peraturan-peraturan adat,
serta menghindari timbulnya sengketa-sengketa baru yang melibatkan masyarakat
di masing-masing wilayah.
Menurut penuturan
lisan dari almarhum Pendeta A.R. Nyaring bahwa pada tanggl 14 Juni 1893 di Kuala Kapuas, atas prakarsa
Residen Banjarmasin diundang para kepala suku/tokoh adat untuk membicarakan
bagaimana caranya agar diselenggarakan perdamaian di antara suku-suku Dayak
yang saling bermusuhan. Pertemuan tersebut membahas, antara-lain:
(1) Memilih
siapa yang sanggup dan mau menjadi ketua dan sekaligus menjadi tuan rumah
penyelenggaraan Perdamaian tersebut.
(2) Menetapkan
tempat penyelenggaraan.
(3) Menetapkan
kapan waktu penyelengaraan.
(4) Menetapkan
lamanya siding damai itu bisa dilaksanakan.
Setelah Residen
Banjar berkali-kali bertanya kepada para Kepala Suku dan tokoh yang hadir,
siapa yang sanggup untuk menjadi ketua pelaksana dan sekaligus menjadi tuan
rumah pelaksanaan Rapat Damai tersebut, hanya Damang Ribu, yang dikenal juga dengan nama Damang Batu yang berani
menyanggupinya.
Dengan demikian
pertemuan awal tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu:
(1) Damang
Ribu, atau Damang Batu ditetapkan sebagai Ketua Pelaksana Rapat Damai.
(2) Tempat
Rapat Damai diLewuTumbang Anoi, yang merupakan kedudukan dari Damang Batu.
(3) Waktu
Rapat Damai, dilaksanakan tahun 1894, untuk waktu lebih-kurang 3 bulan.
(4) Undangan
disampaikan melalui para Kepala Suku dan tokoh masing-masing daerah.
(5) Utusan/peserta
Rapat haruslah tokoh atau kepala suku yang mengetahui adat-istiadat didaerahnya
masing-masing.
Dalam Laporan dari
Controleur Afdeling Tanah Dayak disebutkan agar masing-masing Kepala Adat
memperhatikan kesulitan tansportasi, keterbatasan perbekalan (logistik) di
perjalanan dan selama persidangan,
sehingga tidak perlumembawa
rombongan yang besar, kecuali orang-orang yang memenuhi syarat saja ke
Tumbang Anoi. Disebutkan pula bahwa Pemerintah Hindia Belanda ikut mendukung
penyediaan bahan makanan bagi peserta Rapat Damai ini.Rapat di Kuala Kapuas ini
dihadiri oleh 71 orang tokoh adat.
Setelah selesai
mengikuti rapat pendahuluan tersebut di Kuala Kapuas, Damang Batu langsung kembali
ke Tumbang Anoi dan menyampaikan undangan secara lisan kepada masyarakat yang
ada di wilayahnya mulai dari desa Tumbang Miri dan sepanjang sungai Miri,
sepanjang sungai Hamputung dan sepanjang sungai Kahayan dari Tumbang Miri sampai
Lawang Kaang (Tumbang Dongoi) di hulu Kahayan yang kesemuanya memang mempunyai jaringan
hubungan keluarga dengan DamangBatu.
Di samping itu Damang
Batu melakukan persiapan-persiapan bersama warganya antara-lain membangunan
pondok di hulu dan hilir Tumbang Anoi
dan juga di seberang lewu Tumbang Anoi bagi para tamu dan undangan rapat.
Selama sekitar lima bulan Damang Batu
melakukan berbagai persiapan secara gotong royong bersama warganya,
diantaranya sosialisasi kepada warganya, mengumpulkan sumbangan bahan makanan
dari penduduk di wilayah Sungai Kahayan hulu, sepanjang sungai Miri, dan sepanjang
sungai Hamputung. Damang Batu sendiri
telah menyiapkan 100 ekor kerbau miliknya untuk penyediaan daging selama rapat.
Dalam kepanitiaan,
selain terdiri dari bapak-bapak tokoh masyarakat Tumbang Anoi dan sekitarnya,
juga melibatkan pihak perempuan (Nyai). Tercatat paling tidak ada 11 perempuan
yang menjadi anggota Panitia dari Rapat Damai ini, diantaranya Nyai Rantai yang
adalah isteri dari Damang Ribu/Damang Batu
sendiri.
Dari pihak Belanda
sendiri, dipimpin oleh Controleur Tanah Dayak Kapuas dan Controler Melawi Nanga
Pinuh, dengan menggunakan transportasi
sungai dan kadang-kadang dengan berjalan kaki, tiba di lewu Tumbang Anoi
sebelum Acara Pembukaan.
Dalam Laporan dari
Controleur Afdeling Tanah Dayak disebutkan bahwa Controleur Tanah Dayak tiba di
lewuTumbang Anoi pada tanggal 8 Mei 1894, sedangkan Controleur Melawi,
karena mengalami berbagai hambatan dalam
perjalanan, baru sampai lewuTumbang Anoi tanggal 20 Mei 1984.
Untuk menetapkan
Pedoman dalam menangani perkara-perkara yang akan diajukan dalam Persidangan
Adat, pada tanggal 21 Mei 1894 dilakukan rapat yang dihadiri oleh 2(dua) orang
Controleur yang sudah tiba di Tumbang Anoi, juga dihadiri oleh Yang Mulia
Penembahan Sintang dan kedua Kepala Distrik dari Afdeling Tanah Dayak.
Adapun Pedoman
tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Bahwa
perkara-perkara yang akan disidangkan adalah perkara-perkara yang usianya
maksimal 30 tahun. Namun demikian perkara-perkara penting yang kejadiannya
sudah melewati masa 30 tahun masih dapat disidangkan apabila ternyata pihak
tergugat dalam waktu 30 tahun telah memberi kepada penggugat suatu turus/piturus
berupa tanda bahwa ia bersedia untuk menyelesaikan perkara tersebut secara
damai.
(2) Bahwa
pihak penggugat agar mengajukan gugatannya/menyampaikan informasi mengenai
tujuan dan pokok perkara, waktu dan tempat kejadian perkara kepada sidang dalam
waktu 40 (empat puluh) hari terhitung tanggal pembukaan persidangan.
(3) Untuk
menyampaikan gugatan disediakan fasilitas-fasilitas yang luas; semuapihak bebas
untuk menyampaikan suatu surat permohonan kepada kedua Controleur atau
menyampaikan gugatan secara lisan kepada Juru Tulis Indonesia yang
diperbantukan kepada para Controleur, yang akan memasukkan gugatan tersebut
dalam suatu daftar khusus.
(4) Karena
beberapakendaladalam memanggil semua tergugat dan saksi-saksi dari
daerah-daerah yang terpencil maka apabila sudah berakhir masa 40 hari tersebut
di atas, para tergugat tidak dapat dihadirkan, maka keputusan persidangan tanpa
kehadiran tergugat apabila gugatan tersebut menurut pendapat persidangan
didukung oleh dasar-dasar yang kuat, dianggap terbukti dengan meyakinkan.
(5) Mengenai
perkara-perkara yang akan ditangani dan diselesaikan ditentukan sebagai
berikut:
a.
Perkara-perkara
Pembunuhan:
1).
Berupa hasil serangan untuk pemenggalan kepala.
2).
Pengorbanan manusia:
a). Pembunuhan yang berdiri sendiri.
b). Pembunuhan berupa balas dendam.
b. Orang yang ditawan
c. Perkara-perkara perampokan.
d. Perkara-perkara pernikahan dan
masalahwarisan.
IV. PEMBUKAAN DAN
PELAKSANAAN RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI.
Setelah ditentukan Pedoman yang secara
garis besarnya disebut di atas, pada tanggal 22 Mei 1894 dilakukan acara
Pembukaan di lapangan luas di depan rumah Damang Batu. Dalam kesempatan itu
disampai Pidato Pembukaan oleh Kontroleur Tanah Dayak yang diterjemahkan
kedalam bahasa Dayak oleh Kepala Distrik Dayak Kecil Raden Johanes Karsa
Negara. Acara pembukaan ini ditandai dengan 21 kali tembakan kehormatan.
Dari catatan
Damang Pijar, Kepala Adat Kahayan Hulu, jumlah tokoh adat yang hadir dalam
pertemuan ini sebanyak 136 orang,
sedangkan jumlah suku yang diundang mencapai 152 kepala suku/kepala adat.
Jumlah kepala adat
dan tokoh yang datang serta mereka yang datang untuk mengajukan perkara-perkara
dari hari ke hari bertambah. Satu bulan setelah persidangan dibuka, lebihkurang
830 orang hadir dilewu Tumbang Anoi. Jumlah ini belum termasuk masyarakat lewu Tumbang
Anoi dan sekitarnya.
Persidangan di
buka setiap hari kecuali hari Minggu, dimulai pukul 8.00 pagi sampai pukul
13.00 siang. Pada malam hari oleh Damang Batu dilangsungkan acara hiburan
antara lain Kanjan, Manasai, Tari Mandau, Kandan dan Parung, sehingga terjalin
rasa persaudaraan antar suku.
Berdasarkan data
yang ada, Rapat Damai yang dilangsungkan selama tiga bulan terdapat sebanyak 233 perkara yang sempat diproses dalam sidang.
Dari 233 perkara tersebut hanya 152 perkara yang dapat diselesaikan secara
tuntas, sedangkan 81 perkara tidak
dapat dipetimbangkan untuk ditangani dan diselesaikan. Proses sidang berjalan
dengan baik, demikian pula tata tertib yang telah disepakati tidak pernah diprotes
atau diganggu.
V. HASIL-HASIL RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI 1894
Bagi Suku Dayak, hasil Rapat Damai
Tumbang Anoi itu sangat penting,
karena dalam keputusannya, menghentikan segala
perselisihan di kalangan mereka: Hasang – Hakayau – Habunu – Hajipen (Sejarah
Kalimantan Tengah, 2005).
Hasil Rapat Damai Tumbang Anoi, Tahun
1894 tsb.dapat diringkas menjadi sembilan butir keputusan penting(Sejarah
Kabupaten Kapuas, 1981, hal. 33-34), yaitu:
(1). Menghentikan
permusuhan dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda;
(2). Menghentikan kebiasaan perang
antar sukudanantardesa
(3)
Menghentikan kebiasaan balas dendam antar keluarga;
(4)
Menghentikan kebiasaan adat mangayau;
(5)
Menghentikan kebiasaan adat perbudakan;
(6) Pihak Belanda
mengakui berlakunya Hukum Adat Dayak dan memulihkan segala kedudukan, dan
hak-hak suku Dayak dalamlingkup pemerintahan lokal tradisional mereka;
(7) Penyeragaman hukum adat antar suku;
(8) Menghentikan
kebiasaan hidup berpindah-pindah dan agar menetap di suatu pemukimantertentu;
(9) Mentaati berlakunya penyelesaian
sengketa antar penduduk maupun antar kelompok yang diputuskan oleh Rapat Adat Besar yang khusus
diselenggarakan selama Rapat Damai iniberlangsung.
VI. PENUTUPAN RAPAT DAMAI TUMBANG ANOI.
Jumlah penduduk termasuk para pedagang
dari berbagai tempat yang hadir terus meningkat, dan sampai dengan pada
saatpenutupan, diperkirakan lebih dari 1000 orang berkumpul di lewu Tumbang
Anoi.
Rapat Damai
Tumbang Anoi ditutup pada tanggal 24 Juli 1894 dalam suatu upacara di depan
rumah Damang Batu. Sehari kemudianya itu tanggal 25 Juli 1894, semua kepala
suku dan tokoh adat mengucapkan SUMPAH PERDAMAIAN, bahwa mereka selanjutnya
dengan segala kemampuan siap membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam
upayauntuk mencapai sasaran perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
VII. PENUTUP
Rapat
Damai Tumbang Anoi, atau apapun sebutannya, yang dilaksanakan 120 tahun yang
lalu (1894-2014) di Lewu Tumbang Anoi, merupakan peristiwa sejarah yang sangat penting dan menentukan eksistensi dan
masa depan kehidupan orang Dayak di pulau Kalimantan. Secara politis, Rapat Damai
Tumbang Anoi 1894 merupakanTonggak Peradaban
untuk Belom Bahadat dan awal Kebangkitan Identitas Kolektif Orang Dayak.
Demikian juga Integrasi Sosial di
kalangan masyarakat Dayak yang beragam suku, budaya, bahasa dan Daerah Aliran Sungai
(DAS) pun dapat diwujudkan melalui Rapat Damai Tumbang Anoi.
Secara sosial dan budaya,
Rapat Damai Tumbang Anoi mewariskan kepada kita semua nilai-nilai Musayawarah dan Kekeluargaan dalam menyelesaikan berbagai sengketa atau perkara dalam
masyarakat. Solidaritas Sosial dan budaya
Gotong Royong (Handep Hapakat)
merupakan nilai toleransi dan keperdulian sosial (empati) yang sangat menentukan
kelancaran dan keberhasilan Rapat Damai Tumbang Anoi tahun 1894 lalu
Harapan kita semua,
semoga nilai-nilai sosial-budaya, ekonomi dan politik yang melekat dalam Rapat Damai Tumbang Anoi 120
tahun yang lalu dapat kita wariskan dan kita wujudkan dalam kehidupan kolektif seluruh
masyarakat Kalimantan Tengah dewasa ini dan masa akan datang.
Sumber Bacaan:
Abdurrahman.
1994. Satu Abad Musyawarah Perdamaian
TumbangAnoi(1894-1994). Makalah bandingan pada Seminar peringatan Seratus tahun Rapat Damai
Tumbang Anoi, UniversitasPalangka Raya, di Palangka Raya, 25 Mei 1994.
Friady,
Johnly. 1983. Sejarah Singkat Damang
Batu, Betang dan Perdamaian Tumbang Anoi 1894. Naskah tidak diterbitkan.
Kerjasama Pemerintah Kabupaten Gunung Mas dan Borneo
Institute, 2013, Hapakat Manggatang Utus, Dari Kalimantan Mencari Identitas.
Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya, 2005, Sejarah Kalimantan Tengah (Edisi I).
Residen Kalimantan Afdeling Barat, 1894, Laporan dari
Controleur Afdeling Tanah Dayak Residensi Kalimantan Afdeling Selatan dan Timur
dan Afdeling Bagian Melawi (Afdeling Sintang, Residens iKalimantan Afdeling Barat), mengenai
Pertemuan di Toembang Anoei, diterjemahkan oleh JM Nainggolan, 1986.
Usop, KMA. 1994. Musyawarah se Kalimantan Pertama: Rapat Damai Tumbang Anoi. Misi Sejarah dan Budaya. Makalah pada
Seminar peringatan Seratus tahun Rapat Damai Tumbang Anoi. Universitas Palangka Raya, di Palangka Raya, 26 Mei 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar